
Pernahkah Anda merasa lamaran kerja yang sudah susah payah disusun rapi ternyata gagal meyakinkan perekruter? Atau sebagai pemberi kerja, pernahkah Anda kebingungan memahami apa yang sebenarnya diinginkan kandidat Gen Z? Kesenjangan ini bukan sekadar masalah teknis wawancara, melainkan jurang persepsi yang terbentuk jauh sebelum kedua belah pihak bertemu muka.
Dalam pasar kerja yang semakin kompetitif, keterampilan teknologi bukan lagi nilai tambah melainkan keharusan. Survei Fortune mengungkap fakta mengejutkan: hanya 8% perusahaan yang yakin Gen Z benar-benar siap bekerja. Sementara itu, riset Forbes menemukan 45% manajer menganggap Gen Z sebagai generasi paling sulit dikelola. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan ketidakselarasan antara ekspektasi dan realitas.
Namun, di tengah kesenjangan ini, kecerdasan buatan muncul sebagai jembatan yang tak terduga. Bukan sebagai penghalang, melainkan alat yang mampu mendekatkan dua dunia yang selama ini berjalan paralel tanpa pernah benar-benar bertemu.
Ketika Kesenjangan Bukan Dimulai dari WawancaraVy, karakter dalam episode pertama Voices of Galaxy - serial inspiratif Samsung, Rising with Vietnam, mewakili pengalaman banyak anak muda zaman sekarang. Lamaran kerjanya kurang meyakinkan, CV-nya lengkap namun kurang berkesan. Namun yang membedakan Vy adalah responsnya: alih-alih menunggu, ia menggunakan kecerdasan buatan seperti Galaxy AI dan Gemini Live untuk mengintrospeksi diri, mengidentifikasi keunikan dirinya, dan memperbarui profil dengan cara yang paling mencerminkan kepribadian.
Kisah Vy mengungkap kebenaran mendasar: kesenjangan antara Gen Z dan perusahaan tidak dimulai pada tahap wawancara, tetapi terbentuk ketika kedua belah pihak tidak memiliki suara yang sama dalam memandang kapasitas dan potensi. Dengan 90% perusahaan Fortune 500 menggunakan sistem penyaringan resume otomatis, resume tanpa sorotan yang cukup kuat akan mudah tereliminasi di tahap awal, bahkan sebelum dilihat oleh manusia.

Fenomena ini semakin kompleks ketika melihat bagaimana platform seperti JobCity.id menata ulang ekosistem kerja melalui teknologi AI untuk menghindari mismatch antara kandidat dan perusahaan. Namun, solusi teknis saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan perubahan perspektif dari kedua belah pihak.
Generasi Digital yang Terjebak dalam StereotipGenerasi muda tumbuh besar bersama teknologi, menguasai platform digital, dan cepat mengadopsi perangkat baru. Namun, keahlian digital ini justru menjadi bumerang ketika banyak perusahaan merasa mereka "mirip" satu sama lain. CV yang rapi dan bertenaga AI mungkin secara struktural sudah tepat, tetapi kurang memiliki satu hal penting: sentuhan personal.
Di sisi lain, tidak semua kesenjangan berasal dari kandidat. Banyak perusahaan masih mempertahankan proses lama: deskripsi pekerjaan yang monoton, wawancara yang stereotip, dan memprioritaskan gelar daripada pengalaman. Dengan generasi yang tumbuh besar dengan jejaring sosial, tempat inspirasi dan nilai-nilai diekspresikan melalui ruang kreatif, hal-hal yang terlalu stereotip akan mengurangi daya tarik.
Banyak tempat membatasi kandidat untuk menggunakan alat pendukung atau mengejar investasi teknologi, sementara lupa berinvestasi dalam budaya dan lingkungan kerja. Padahal, seperti yang ditunjukkan oleh platform JobCity.id yang membantu pencari kerja menggunakan AI, teknologi seharusnya menjadi enabler而不是 pembatas.
Baca Juga:
Di tengah kompleksitas ini, AI muncul bukan sebagai penghalang, melainkan jembatan antara Gen Z dan pemberi kerja. Bagi bisnis, penting untuk menentukan posisi AI agar karyawan dapat bersinar. Ketika rekrutmen menciptakan ruang bagi kandidat untuk mengekspresikan identitas mereka, AI akan membantu menyederhanakan prosedur alih-alih mengaburkan identitas mereka.
Perangkat AI yang memahami bahasa lokal seperti Galaxy AI dan Gemini Live akan menjadi asisten yang handal bagi Gen Z dalam menganalisis kekuatan, melatih keterampilan lunak, atau menceritakan kisah pribadi. Menurut Forbes (5/2025), 99% manajer perekrutan telah mengintegrasikan AI ke dalam proses penyaringan, menegaskan bahwa AI bukan lagi keunggulan tersendiri, melainkan konteks pasar yang umum.
Perkembangan ini sejalan dengan tren yang terlihat di Sora OpenAI yang menggebrak dunia media sosial, menunjukkan bagaimana AI tidak hanya mengubah cara kita bekerja, tetapi juga cara kita berkomunikasi dan mengekspresikan diri.
Masa Depan yang Dibentuk oleh Kemampuan BeradaptasiKetika AI membentuk kembali pasar kerja, orang-orang sukses akan tahu cara menggunakan perangkat untuk memperkuat suara mereka. Generasi Z akan memiliki keuntungan jika mereka keluar dari rutinitas resume yang bersih dan tanpa emosi. Perusahaan akan menarik bakat jika mereka memahami kebutuhan pengembangan generasi muda.
Kisah mencari pekerjaan di era AI bukan lagi sebuah kompetisi, melainkan ujian kemampuan untuk memahami, beradaptasi, dan membuka potensi kedua belah pihak. Ketika bersama-sama melintasi jembatan bernama AI, para pemberi kerja dan Gen Z tidak lagi berada di pihak yang berseberangan.
Ketika dipahami, Gen Z akan memiliki ruang untuk "menjangkau", menciptakan peluang bagi diri mereka sendiri untuk menerobos, sebagaimana disampaikan dalam kisah di episode 1 Voices of Galaxy. Inilah esensi sebenarnya dari revolusi AI di dunia kerja: bukan tentang menggantikan manusia, melainkan memperkuat kemanusiaan itu sendiri.