Bayangkan Anda tinggal di sebuah desa terpencil di pedalaman Papua, di mana sinyal telepon saja sulit didapat, apalagi koneksi internet yang stabil. Klinik kesehatan terdekat harus mengirim data pasien dengan cara manual, sekolah tidak bisa mengakses materi pembelajaran digital, dan bisnis lokal terisolasi dari pasar yang lebih luas. Inilah realitas yang dihadapi jutaan warga Indonesia di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Kehadiran Starlink, layanan internet satelit milik SpaceX Elon Musk yang resmi beroperasi di Indonesia sejak Mei 2024, sempat menimbulkan harapan besar. Layanan yang mengandalkan konstelasi satelit low earth orbit (LEO) ini menjanjikan koneksi internet berkecepatan tinggi di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi "blank spot" dalam peta digital Indonesia. Dengan teknologi mutakhirnya, Starlink disebut-sebut mampu menjembatani kesenjangan digital yang selama ini menghambat pemerataan pembangunan.
Namun, setelah lebih dari setahun beroperasi, muncul pertanyaan mendasar: apakah layanan berteknologi canggih ini benar-benar dapat diakses oleh masyarakat yang paling membutuhkan, atau justru menjadi privilege bagi segelintir kalangan tertentu?
Fakta Menarik: 60% Pengguna Starlink Berasal dari PedesaanData terbaru dari Opensignal mengungkapkan fakta menarik tentang pola distribusi pengguna Starlink di Indonesia. Sekitar 60% pengguna layanan ini ternyata berasal dari wilayah pedesaan, sementara hanya 17% yang berada di perkotaan. Angka ini menunjukkan bahwa Starlink memang berhasil menjangkau segmentasi pasar yang menjadi target utamanya—masyarakatarkat di daerah yang minim infrastruktur telekomunikasi.
Wilayah seperti Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Papua tercatat sebagai pengguna terbesar layanan internet satelit ini. Sebaliknya, di Pulau Jawa yang infrastruktur fiber dan jaringan selulernya sudah lebih matang, layanan Fixed Wireless Access (FWA) justru lebih populer di kalangan masyarakat. Pola ini mengkonfirmasi bahwa Starlink memang hadir untuk masyarakat desa, meskipun implementasinya masih menyisakan banyak pertanyaan.
Peran Starlink dalam memperluas konektivitas di daerah yang belum terjangkau jaringan kabel maupun fiber tidak bisa dipandang sebelah mata. Layanan ini menjadi oase di tengah gurun digital yang selama ini membuat banyak wilayah terisolasi dari perkembangan teknologi.
Biaya Langganan: Luxury Item bagi Masyarakat PedesaanDi balik manfaat teknologi yang ditawarkan, ada satu hambatan besar yang membuat Starlink sulit diakses masyarakat pedesaan berpenghasilan rendah: harga. Untuk bisa menikmati internet dari satelit, calon pengguna harus merogoh kocek cukup dalam. Starlink Kit Mini dibanderol sekitar Rp 4,75 juta, sementara perangkat standar harganya mencapai Rp 5,9 juta.
Yang lebih ironis, karena lonjakan permintaan yang tinggi, harga perangkat ini bahkan bisa melambung hingga Rp 9,4 juta di beberapa wilayah. Setelah mengeluarkan biaya untuk perangkat, pengguna masih harus membayar biaya langganan bulanan yang tidak murah—mulai dari Rp 479.000 untuk paket Residensial Lite, hingga Rp 1,6 juta untuk paket Jelajah.
Ketika dibandingkan dengan layanan FWA dari provider lokal seperti Telkomsel Orbit, XL Satu Lite, atau IOH HiFi Air, perbedaan harganya sangat signifikan. Layanan FWA menawarkan paket data besar dengan harga mulai dari Rp 75.000 hingga Rp 300.000 per bulan, ditambah router yang hanya berkisar Rp 400.000–Rp 600.000.
Dengan rata-rata upah bulanan di Indonesia sekitar Rp 3 juta, biaya paket Starlink bisa menghabiskan hampir seperenam penghasilan bulanan seorang pekerja. Belum lagi biaya perangkat keras yang harganya melebihi satu kali gaji. Realitas ekonomi inilah yang membuat Starlink masih dianggap sebagai layanan premium, lebih cocok untuk instansi, bisnis, atau proyek komunitas tertentu ketimbang penggunaan rumah tangga biasa.
Baca Juga:
Meski harganya mahal, peran Starlink dalam ekosistem telekomunikasi Indonesia tetap penting dan strategis. Layanan ini hadir di wilayah-wilayah di mana jaringan kabel dan seluler hampir tidak ada, misalnya untuk mendukung operasional klinik kesehatan, sekolah, dan puskesmas di daerah terpencil.
Pendekatan ini membuat Starlink berposisi sebagai solusi pelengkap yang membantu memperluas akses digital, bukan menggantikan jaringan darat yang sudah ada. Bahkan, banyak pihak melihat Starlink sebagai "jembatan awal" menuju pemerataan konektivitas nasional, terutama bagi daerah yang masih mengalami lebih dari 5% waktu tanpa sinyal seluler.
Di sisi lain, operator lokal seperti Telkomsel, XL, dan Indosat Ooredoo Hutchison tidak tinggal diam. Mereka terus berinvestasi dalam memperluas jaringan FWA dan fiber untuk menjangkau lebih banyak wilayah. Tanggapan Indosat soal Starlink yang resmi hadir di Indonesia justru menunjukkan sikap terbuka terhadap kolaborasi, bukan kompetisi.
Pemerintah melalui Kominfo juga telah menyiapkan alokasi frekuensi baru untuk layanan broadband murah, yang ditargetkan bisa menekan harga langganan internet hingga Rp 100.000–Rp 150.000 per bulan. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menciptakan ekosistem telekomunikasi yang inklusif dan terjangkau.
Dilema dan Masa Depan Starlink di IndonesiaStarlink kini menghadapi dilema yang cukup kompleks. Di satu sisi, permintaan tinggi datang dari wilayah yang sangat membutuhkan koneksi internet. Di sisi lain, harga yang masih premium membuat masyarakat umum sulit untuk berlangganan. Peluang kerja sama satelit low earth orbit yang dibuka oleh bos Indosat mungkin bisa menjadi solusi untuk membuat layanan ini lebih terjangkau.
Namun, masih ada secercah harapan bahwa harga Starlink akan turun di masa depan. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, perusahaan ini telah memangkas biaya kit dan paket bulanan agar lebih terjangkau. Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, maka potensi ekspansinya bisa jauh lebih besar.
Pertanyaannya sekarang adalah: apakah Starlink akan tetap menjadi solusi eksklusif untuk kalangan tertentu, atau benar-benar bisa menjadi jembatan digital bagi masyarakat di daerah terpencil? Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan Starlink untuk menyesuaikan model bisnisnya dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia, serta kemauan untuk berkolaborasi dengan pemain lokal dalam menciptakan solusi yang lebih terjangkau.
Yang pasti, kehadiran Starlink telah membuka mata semua pihak—baik pemerintah, operator telekomunikasi, maupun masyarakat—tentang pentingnya pemerataan akses digital. Teknologi canggih saja tidak cukup; yang dibutuhkan adalah pendekatan yang holistik dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun warga Indonesia yang tertinggal dalam revolusi digital.