
Bayangkan Anda bisa menyelesaikan tugas kuliah 45 menit hanya dalam 16 detik. Bukan dengan sihir, tapi dengan mengetik tiga kata sederhana: "Complete the assignment." Inilah kenyataan yang membuat Aravind Srinivas, CEO Perplexity AI yang berusia 31 tahun, harus mengeluarkan peringatan keras kepada pengguna setelah melihat produknya disalahgunakan untuk kecurangan akademis.
Masalah ini bermula dari inisiatif mulia Perplexity pada September lalu, ketika perusahaan tersebut menawarkan browser AI Comet senilai $200 secara gratis untuk pelajar dan mahasiswa. Dengan tagline "study buddy" yang membantu "menemukan jawaban lebih cepat dari sebelumnya," tawaran ini seharusnya menjadi solusi belajar yang revolusioner. Namun dalam hitungan minggu, niat baik itu berbalik menjadi bumerang.
Sebuah video viral di platform X menjadi bukti nyata bagaimana teknologi pendidikan bisa berubah menjadi alat kecurangan yang canggih. Dalam klip berdurasi 16 detik tersebut, seorang developer dengan bangga menunjukkan bagaimana Comet menyelesaikan seluruh tugas desain web Coursera hanya dengan perintah sederhana. Yang lebih mengejutkan, pengguna tersebut dengan santai men-tag Perplexity dan Srinivas sambil berkomentar, "Baru saja menyelesaikan kursus Coursera saya."
Respon CEO: Tegas dan MengkhawatirkanReaksi Srinivas tidak main-main. Dengan empat kata singkat namun penuh makna—"Absolutely don't do this"—CEO muda tersebut menunjukkan betapa seriusnya penyalahgunaan ini. Respon tersebut bukan sekadar teguran biasa, melainkan cerminan kekhawatiran mendalam tentang masa depan pendidikan di era AI.
Fenomena ini terjadi di tengah gelombang penetrasi AI yang semakin dalam ke ruang kelas, dengan perusahaan teknologi besar berlomba memasarkan produk mereka sebagai "dukungan belajar." Perplexity bukan satu-satunya—raksasa seperti Google, Microsoft, dan Anthropic juga menawarkan program serupa yang mengklaim bot mereka sebagai tutor, teman belajar, atau penguat produktivitas.
Namun para pendidik menyuarakan keprihatinan yang sama: alat-alat ini semakin sering digunakan untuk melewati proses belajar sepenuhnya. Banyak siswa yang menggunakan AI untuk menghasilkan esai, menaklukkan kuis, atau mengotomatisasi seluruh kursus—tindakan yang justru merusak keterampilan yang seharusnya platform tersebut tingkatkan.
Baca Juga:
Apa yang membuat Comet begitu berbahaya dalam konteks kecurangan akademis? Jawabannya terletak pada desain fundamentalnya. Berbeda dengan chatbot konvensional yang hanya menghasilkan teks, Comet adalah apa yang disebut Perplexity sebagai browser AI "agentic"—dirancang untuk melakukan lebih dari sekadar memberikan jawaban.
Browser ini dapat menginterpretasikan instruksi, mengambil tindakan atas nama pengguna, mengisi formulir, dan menavigasi alur kerja yang kompleks. Tingkat otonomi inilah yang memungkinkan Comet menyelesaikan tugas dalam hitungan detik, namun juga membuka risiko baru ketika disalahgunakan.
Kemampuan Comet untuk "bertindak, bukan hanya menasihati" inilah yang mengubah paradigma dukungan belajar menjadi "mengerjakan pekerjaan untuk Anda." Pergeseran ini jelas terlihat dalam video Coursera, dan secara fundamental mengubah debat tentang AI dalam pendidikan—bukan lagi tentang generasi konten (esai atau ringkasan), tetapi tentang otomatisasi dalam bentuk dan fungsi.
Masalah Keamanan yang MengintaiDi balik kemampuannya yang mengesankan, Comet menyimpan masalah keamanan yang serius. Audit keamanan dari Brave dan Guardio telah menandai kerentanan yang mengkhawatirkan. Dalam beberapa kasus, Comet dapat menjalankan instruksi tersembunyi yang tertanam dalam konten halaman web—pada dasarnya memungkinkan serangan "prompt injection" yang mengesampingkan perilaku yang dimaksudkan.
Satu kasus yang sangat mengkhawatirkan, dijuluki CometJacking oleh peneliti di LayerX, memungkinkan URL yang dirancang khusus membajak browser dan menyebabkannya mengekstraksi data pribadi seperti email dan entri kalender. Dalam audit oleh Guardio, Comet tertipu untuk melakukan pembelian penipuan dari situs palsu—menyelesaikan seluruh alur checkout tanpa verifikasi manusia.
Browser AI ini juga menangani skenario phishing dengan buruk: ketika disajikan tautan berbahaya yang menyamar sebagai permintaan sah, AI memprosesnya sebagai tugas yang valid. Ini menjadi peringatan serius mengingat ancaman siber yang semakin canggih di era digital saat ini.
Masa Depan Pendidikan di Tangan AIInsiden ini memunculkan pertanyaan mendasar: Bagaimana kita harus menyeimbangkan antara manfaat teknologi dan integritas akademis? Di satu sisi, AI seperti Comet menawarkan potensi luar biasa untuk personalisasi pembelajaran dan efisiensi pendidikan. Di sisi lain, kemampuannya yang terlalu powerful justru dapat merusak tujuan pendidikan itu sendiri.
Yang menjadi ironi adalah bahwa teknologi yang sama yang dikembangkan untuk membantu belajar justru menjadi alat untuk menghindari proses belajar. Ketika siswa bisa menyelesaikan kursus dalam hitungan detik, apa sebenarnya nilai yang mereka dapatkan? Apakah sertifikat tanpa pemahaman masih layak disebut prestasi akademis?
Perusahaan teknologi seperti Perplexity menghadapi dilema yang kompleks. Di satu sisi, mereka ingin produk mereka digunakan secara luas, terutama di kalangan pelajar yang merupakan pasar potensial. Di sisi lain, mereka harus memastikan produk mereka tidak disalahgunakan. Peringatan Srinivas mungkin hanya awal dari perdebatan yang lebih besar tentang etika AI dalam pendidikan.
Sementara perkembangan AI terus berlanjut dengan kecepatan yang mencengangkan—dari Project GR00T Nvidia untuk humanoid masa depan hingga inovasi processor terbaru—dunia pendidikan harus cepat beradaptasi. Mungkin yang dibutuhkan bukanlah larangan terhadap teknologi, tetapi pendekatan baru dalam evaluasi pembelajaran yang lebih menekankan pada proses daripada hasil akhir.
Kisah Comet dan kecurangan Coursera ini menjadi pengingat bahwa setiap kemajuan teknologi membawa serta tantangan baru. Sebagai masyarakat, kita harus terus bertanya: Bagaimana kita bisa memanfaatkan kekuatan AI tanpa kehilangan esensi dari pembelajaran itu sendiri? Mungkin jawabannya terletak pada keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan mempertahankan nilai-nilai pendidikan yang fundamental.