Bayangkan Anda membeli sebuah rumah dengan sistem pembayaran lunak—tanpa cicilan, tanpa bunga, hanya sekali bayar lalu tinggal menempatinya selamanya. Kemudian, tiba-tiba datang perusahaan besar yang membeli rumah tersebut dan menawarkannya kembali kepada Anda secara gratis. Kedengarannya seperti mimpi, bukan? Tapi, pernahkah Anda bertanya-tanya, apa sebenarnya yang mereka inginkan sebagai gantinya? Inilah analogi yang tepat untuk menggambarkan pergolakan yang dialami oleh Affinity Designer, Photo, dan Publisher—trio aplikasi kreatif andalan—setelah diakuisisi oleh raksasa desain Canva.
Sebelumnya, Affinity Suite dari Serif adalah jawaban bagi banyak kreator yang muak dengan model langganan Adobe Creative Cloud yang memberatkan. Filosofinya sederhana: beli sekali, miliki selamanya. Aplikasi-aplikasi ini bukan sekadar alternatif murahan; mereka adalah pesaing serius dengan kemampuan setara profesional, yang berhasil membangun basis pengguna yang loyal. Ketika Canva, platform desain yang identik dengan kemudahan dan template, mengumumkan akuisisi pada 2024, dunia kreatif pun menahan napas. Spekulasi bermunculan: akankah Affinity mengadopsi model langganan? Akankah esensinya sebagai alat profesional tergerus oleh pendekatan "drag-and-drop" ala Canva?
Kini, lebih dari setahun pasca-akuisisi, jawabannya akhirnya terungkap. Canva tidak hanya mempertahankan Affinity, tetapi meluncurkannya kembali dengan wajah baru. Yang mengejutkan, mereka memilih untuk memberikannya secara gratis. Tapi, seperti kata pepatah, tidak ada makan siang yang benar-benar gratis. Di balik embel-embel "gratis" ini, terselip perubahan fundamental yang bisa jadi merupakan strategi bisnis paling cerdik Canva untuk menjaring lebih banyak pengguna ke dalam ekosistemnya. Apakah ini akhir yang bahagia untuk pengguna setia Affinity, atau justru awal dari sebuah transformasi yang penuh kompromi?
Revolusi atau Evolusi? Wajah Baru Affinity Pasca-CanvaCanva secara resmi meluncurkan "Affinity by Canva", sebuah aplikasi desktop yang mengonsolidasikan ketiga aplikasi sebelumnya—Designer (vektor), Photo (editing foto), dan Publisher (layout)—menjadi satu perangkat lunak yang terpadu. Bagi Anda yang sudah akrab dengan trio ini, perubahan terbesar terletak pada struktur antarmuka. Alih-alih membuka tiga aplikasi terpisah, kini Anda dapat beralih dengan mulus antara alat vektor, pixel, dan layout melalui tab khusus di dalam satu jendela yang sama.
Canva menekankan fleksibilitas yang lebih besar. Anda tidak lagi terkurung dalam satu mode; Anda bisa mencampur dan mencocokkan alat dari ketiga domain tersebut. Misalnya, menggunakan alat vektor dari Designer pada sebuah proyek yang sedang dikerjakan di mode layout Publisher. Fitur penyimpanan toolbar kustom juga ditambahkan, memungkinkan Anda menyusun set alat favorit untuk jenis proyek spesifik, meningkatkan efisiensi workflow secara signifikan. Secara fungsional, inti dari aplikasi ini tidak banyak berubah dari versi Serif sebelumnya. Canva seolah berkata, "Kami menghargai warisan yang sudah dibangun, kami hanya membuatnya lebih terintegrasi."
Namun, integrasi itulah yang menjadi kata kunci. Untuk pertama kalinya, Affinity sekarang memerlukan akun Canva gratis untuk dapat digunakan. Ini adalah perubahan kebijakan yang fundamental. Dengan satu langkah ini, Canva secara efektif menghubungkan setiap pengguna Affinity—yang mungkin sebelumnya adalah pengguna independen—langsung ke dalam ekosistem Canva yang lebih luas. Sebuah opsi baru memungkinkan Anda mengirim proyek Affinity langsung ke Canva, membuka pintu bagi kolaborasi yang lebih cair antara pekerjaan desain tingkat profesional dan presentasi atau media sosial yang lebih cepat.
Gratis atau Freemium? Membaca Strategi di Balik Harga Nol RupiahKeputusan Canva untuk membuat Affinity gratis adalah gebrakan yang mengguncang industri. Ini adalah tamparan langsung bagi model bisnis langganan yang dianut oleh Adobe dan lainnya. Bagi pengguna baru, ini adalah undangan yang sulit ditolak: akses ke perangkat lunak desain profesional tanpa mengeluarkan sepeser pun. Namun, bagi pengguna lama yang menghargai filosofi "beli sekali, pakai selamanya", keputusan ini terasa pahit-manis.
Canva berjanji bahwa Affinity akan "gratis ke depannya". Tapi, benarkah demikian? Istilah yang lebih tepat mungkin adalah "freemium". Canva AI Studio, suite alat kecerdasan buatan milik Canva, kini tertanam dalam Affinity. Fitur-fitur seperti penghapus latar belakang otomatis dan Generative Fill untuk mengedit bagian foto tersedia. Pertanyaannya, akankah semua fitur AI ini tetap gratis selamanya? Sejarah bisnis teknologi menunjukkan bahwa fitur AI yang canggih seringkali menjadi produk premium yang memerlukan langganan terpisah.
Inilah "kail" yang mungkin tersembunyi. Aplikasi yang gratis, tetapi memerlukan akun, adalah pintu gerbang menuju upselling. Canva, dengan basis pengguna yang masif, memahami betul nilai dari memiliki seseorang di dalam platformnya. Dengan menarik pengguna Affinity—yang notabene adalah kreator serius—ke dalam ekosistemnya, Canva berpotensi menjual layanan premium, template eksklusif, atau fitur AI berbayar di kemudian hari. Bagi mereka, nilai jangka panjang dari jutaan pengguna baru ini mungkin jauh lebih berharga daripada pendapatan langsung dari penjualan lisensi.
Masa Depan yang Tidak Pasti: Nasib Kompetitor Adobe LainnyaLanskap persaingan perangkat lunak kreatif sedang berubah dengan cepat. Affinity bukan satu-satunya pesaing Adobe yang mengalami perubahan kepemilikan. Pada November 2024, Apple mengakuisisi Pixelmator, developer aplikasi editing foto dan gambar populer untuk iOS, iPadOS, dan macOS. Langkah ini menguatkan posisi Apple dalam perlombaan perangkat lunak kreatif, meski hingga kini belum jelas apakah Apple akan menggeser Pixelmator ke model langganan atau mempertahankan filosofi pembelian sekali pakainya.
Perbandingan antara dua akuisisi besar ini menarik untuk diamati. Canva memilih untuk mengintegrasikan Affinity secara agresif ke dalam platformnya dan menawarkannya secara gratis. Sementara Apple, yang dikenal dengan ekosistem tertutupnya, masih bersikap diam mengenai rencana jangka panjang untuk Pixelmator. Kedua strategi ini merefleksikan perbedaan DNA perusahaan: Canva yang growth-hacking dan berorientasi pada akuisisi pengguna, versus Apple yang lebih hati-hati dan berfokus pada pengalaman ekosistem yang mulus.
Bagi Anda pengguna setia Affinity V2, ada secercah kabar baik. Canva memastikan bahwa Anda dapat terus menggunakan salinan lama yang sudah dibeli tanpa gangguan. Ini adalah bentuk penghormatan kepada komunitas yang telah membangun Affinity. Namun, pertanyaannya, berapa lama lagi dukungan dan pembaruan keamanan akan diberikan untuk versi legacy tersebut? Pada akhirnya, daya tarik fitur-fitur baru dan integrasi yang mulus mungkin akan menggeser loyalitas tersebut.
Peluncuran ulang Affinity oleh Canva adalah sebuah eksperimen besar-besaran. Di satu sisi, ini adalah kemenangan bagi aksesibilitas—desain profesional kini benar-benar dapat diakses oleh siapa saja. Di sisi lain, ini adalah pengingat bahwa dalam dunia digital, ketika Anda tidak membayar dengan uang, Anda seringkali membayar dengan data, perhatian, atau akses ke dalam ekosistem yang lebih besar. Apakah Affinity yang baru ini akan mempertahankan jiwa profesionalnya, atau perlahan-lahan akan berasimilasi menjadi bagian dari mesin Canva yang lebih besar? Hanya waktu yang akan menjawab. Bagi para kreator, pilihan ada di tangan Anda: tetap dengan yang lama yang sudah teruji, atau melompat ke dunia baru yang penuh dengan kemungkinan—dan mungkin, kompromi.